Meski dihantui pemangkasan pertumbuhan ekonomi akibat krisis ekonomi global yang terus berkepanjangan, para pelaku usaha di Indonesia termasuk golongan yang optimis dengan situasi yang tengah berlangsung.
Sebuah survei kuartalan yang dikeluarkan perbankan asal Inggris, Standard Chartered, melaporkan bahwa pelaku ekonomi di tanah air merupakan kalangan yang paling optimistis di tengah gonjang-ganjing ekonomi dunia, khususnya pada kuartal III ini.
Hasil survei menyimpulkan bahwa 9 dari 10 perusahaan Indonesia yakin roda bisnis mereka akan berjalan lebih baik pada kuartal III ini. Bahkan 81 persen dari para pelaku itu, yakin tingkat permintaan akan naik 10 persen dari rata-rata kawasan Asia sebesar 66 persen.
Tak hanya itu, 6 dari 10 perusahaan Indonesia juga berharap tingkat keuntungan bisnis akan meningkat di atas rata-rata.
Dalam melakukan survei ini, StanChart mewawancarai sedikitnya 350 eksekutif level C di sejumlah wilayah Asia dari berbagai jenis industri. Dalam survei ini, pengusaha asal Jepang tak diperhitungkan.
"Secara keseluruhan, perekonomian dunia masih fokus pada posisi mempertahankan diri," kata Head of Equity Strategy Standard Chartered, Clive McDonnell, seperti dikutip VIVAnewsdari laman CNBC.
Optimisme pelaku ekonomi Indonesia terhadap dunia usaha selama kuartal III-2012 tak terlepas dari besarnya konsumsi dalam negeri. Faktor inilah yang jarang dimiliki oleh negara-negara tetangga di kawasan Asia.
Namun, McDonnell mengakui, Indonesia memang masih sedikit mengandalkan ekspor ke India dan China. Namun, hal itu tak mengurangi kekuatan konsumsi domestik di dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi juga tak lepas dari kenaikan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia. Naiknya pendapatan itu berbanding lurus dengan jumlah kelas menengah yang juga ikut bertambah.
Bersinar di Asia Tenggara
Selain Standard Chartered, Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) juga cukup optimistis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dikutip dari Laporan Asian Development Outlook Edisi Juli 2012, ADB mengakui perekonomian global tengah mengalami goncangan selama tahun 2012 dan 2013. Bahkan proyeksi terbaru menunjukan tingkat pertumbuhan ekonomi akan lebih rendah dari prediksi ADB.
ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia bakal melemah sejalan dengan kondisi ekonomi dunia yang makin sulit. Melambatnya ekonomi China dan India juga menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2012, ADB yang semula memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara berkembang di Asia bakal berada di kisaran 6,9 persen, terpaksa menurunkan proyeksinya ke level 6,6 persen.
Negara yang masuk dalam kategori negara berkembang Asia ini adalah China, India, dan Asean 5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Namun, di balik kekhawatirkan pelemahan ekonomi itu, ADB justru memberikan apresiasi positif bagi negara-negara Asia Tenggara. Kawasan ini diprediksi tetap mengalami pertumbuhan ekonomi seiring masih tingginya konsumsi domestik dan rekonstruksi pasca banjir di Thailand. Perekonomian kawasan Asia Tenggara diyakini bakal tumbuh 5,2 persen pada 2012 dan 5,6 persen di 2013.
Perhatian khusus diberikan ADB pada perekonomian Indonesia. Negara kepulauan ini diyakini bakal bersinar kendati krisis ekonomi dunia tengah menghantam. Naiknya penjualan ritel seiring bertambahnya konsumsi dalam negeri ditambah kuatnya kepercayaan konsumen, telah mendorong ekonomi Indonesoa.
Hal itu ditunjang dengan langkah pemerintah yang tetap mempertahankan kebijakan moneter yang lebih longgar serta stimulus fiskal.
Kendati yakin dengan pertumbuhan di Asia Tenggara, ADB memperingatkan adanya tantangan laju inflasi yang bakal terus melonjak. Hal ini tak terlepas dari harga-harga komoditas dunia yang terus melambung tinggi.
Seiring prospek ekonomi yang tertahan, tekanan konsumsi domestik terhadap harga inflasi juga diyakini bakal melemah di kawasan negara berkembang Asia. ADB memperkirakan laju inflasi selama 2012 bakal turun 0,2 persen dan kembali menguat pada tahun berikutnya.
Sampai Kapan?
Menanggapi optimisme kalangan pelaku usaha di tanah air, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi, justru berbeda pendapat. "Saya termasuk orang yang lebih pesimistis," ujarnya kepada VIVAnews.
Apindo mengakui, selama ini pertumbuhan ekonomi Indonesia memang masih bertumpu pada konsumsi publik yang menaik seiring bertambahnya kelas menengah di tanah air.
Sofjan menegaskan, kalangan pelaku usaha yang bersikap lebih optimistis kemungkinan hanya memperhitungkan faktor konsumsi domestik semata. Mereka, lanjutnya, lupa menghitung faktor luar negeri yang kini tengah berkutat dengan masalah pelambatan ekonomi. "Sebagian pengusaha baru bersifat lokal saja, kebanyakan mereka bermain di dalam negeri," kata dia.
Indonesia, lanjut Sofjan, seharusnya mulai berpikir menyeimbangkan sumber pertumbuhan ekonomi yang tak hanya bergantung pada konsumsi publik. Sektor investasi dan ekspor dinilai harus menjadi agenda besar pemerintah memasuk ekonomi di tahun-tahun mendatang.
"Suatu saat pasar akan jenuh, bagaimana kalau sampai itu terjadi? sampai kapan kita akan bertahan dengan konsumsi publik?" tanyanya.
Tanda-tanda kejenuhan pasar domestik juga bisa terjadi dengan makin ketatnya aturan yang dikeluarkan pembuat kebijakan. Sebagai contoh, aturan batas minimal uang muka kredit secara tak langsung telah mengerem laju pertumbuhan kendaraan bermotor di tanah air.
Namun, diakui Apindo, kebijakan pembatasan uang muka tersebut dibuat sebagai antisipasi terjadinya mesin ekonomi yang terlampau panas (overheating).
Melihat kondisi tersebut, Apindo mengingat seluruh pihak agar lebih berhati-hati terhadap setiap perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia. Tak cukup itu, pemerintah dan perusahaan juga harus membuat persiapan matang guna mengantisipasi situasi yang terjadi.
"Faktor konsumsi domestik itu paling hanya mampu bertahan sampai akhir tahun ini," kata dia.
Hal senada disampaikan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto. Menurutnya, pengusaha masih bisa bersikap optimistis sepanjang Indonesia bisa menjaga iklim berusaha tetap probisnis.
"Artinya jangan sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang justru menyulitkan dan tidak ramah terhadap bisnis," katanya.
Suryo menilai, saat ini adalah momentum terbaik bagi Indonesia untuk memacu kinerja perekonomian nasional semakin melaju. Alasannya sederhana, Indonesia kini tengah menjadi perhatian dunia serta investor asing. "Ini perlu kita jaga agar tetap kinclong," ujar dia.
0 comments