"Tanah Papua, tanah yang kaya. Surga kecil jatuh ke bumi. Seluas tanah, sebanyak madu, adalah harta harapan. Tanah Papua, tanah leluhur. Di sana aku lahir. Bersama angin, bersama daun. Aku dibesarkan. Hitam kulit, keriting rambut. Aku Papua, hitam kulit, keriting rambut, aku Papua. Biar nanti langit terbelah, aku Papua".
Lantunan syair ini dilantunkan penyanyi asal Papua, Edo Kondologit. Semua yang ada di Tanah Papua menjadi kebanggaannya dan masyarakat asli Papua.
Namun, di tengah damainya kehidupan di Bumi Cendrawasih ini, ternyata tak semua masyarakat dapat hidup benar-benar aman dan tenteram. Masyarakat Papua terbelenggu dalam ingar-bingar bunyi tembakan.
Cerita kekerasan di Papua memang seolah tak berujung. Sejak 2009 hingga pertengahan 2012, aksi kekerasan bersenjata di Papua terus terjadi, menelan korban hingga 41 orang, baik sipil maupun aparat keamanan.
Berdasarkan catatan Kompas, khusus selama 2011-2012, korban warga sipil mencapai 26 orang, sementara aparat berjumlah 14 orang. Angka korban jiwa tersebut belum termasuk pada kasus-kasus penembakan beberapa hari terakhir ini.
"Saya bingung. Kita ini hidup di negara apa, sampai aparatnya seperti mandul. Saya sedih, kecewa, marah, dan tidak tahu harus apa lagi. Papua ini seperti didesain sebagai ladang konflik. Kami warga Papua bingung, dari tahun 1999 sudah hampir 500 kasus terjadi, tapi tidak tuntas diselesaikan," tutur Edo, dengan nada suara sedih saat dihubungi Kompas.com, Minggu (10/6/2012).
Edo, yang saat ini berada di Jayapura, mempertanyakan situasi tanah kelahirannya. Ia merasa, tanah kelahiran tercintanya itu tak pernah benar-benar aman dan damai. Ia dan masyarakat Papua menelan kekecewaan, terkurung tanda tanya besar dengan situasi di tanah kelahiran mereka sejak lama.
Kekerasan tak pernah usai
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muridan Satrio Widjojo, mengatakan tak kunjung redanya berbagai kasus penembakan dan kekerasaan di Papua adalah akibat persaingan satuan-satuan militer di Papua. Akar masalah berawal ketika satu per satu operasi militer diturunkan ke Papua dengan alasan munculnya kelompok separatis.
Satuan-satuan itu, kata Muridan, berasal dari TNI, Polri, dan intelijen. Kemudian, pada perjalanannya menggelar operasi militer, mereka berlomba-lomba mencari kelompok separatis yang dianggap mengancam kedaulatan negara.
"Bukan hanya persaingan militer di antara satuan-satuan itu. Mereka juga berlomba-lomba membuat organisasi warga Papua dan mengklaim sebagai warga binaan mereka. Persaingan-persaingan macam ini yang membuat aparat tidak fokus menjaga keamanan di Papua," kata Muridan kepada Kompas.com.
Sayangnya, tak semua kelompok bentukan militer itu dapat berjalan dengan baik. Mereka justru diadu domba dengan kelompok antimiliter di Papua. Setiap kali ada aksi kekerasan atau penembakan, satu kelompok dengan kelompok lainnya kerap saling mencurigai.
"Terjadi adu domba di antara masyarakat Papua sendiri. Mereka saling menuding antara warga sipil dan kelompok separatis. Akibatnya, mereka saling membunuh," lanjutnya.
Tak hanya itu. Muridan mengungkapkan, oknum polisi dan TNI juga terlibat dalam semua akar masalah ini. Mereka turut melakukan kekerasan di Papua.
Menurut dia, banyak kasus kekerasan di Papua yang juga ditutup dengan kekerasan. Oknum polisi atau TNI menyelesaikan masalah di Papua cukup dengan melontarkan peluru dari senjatanya. Setelah itu, mereka saling menuduh satu dengan lainnya. Akibatnya, kata Muridan, tak satu pun pelaku ditangkap tiap kali muncul peristiwa kekerasan dan penembakan.
"Bagaimana mereka mau menangkap orang, kalau oknum kepolisian dan TNI sendiri ada yang jadi pelaku. TNI dan Polri saling curiga di antara mereka. Kalau ada kasus penembakan, kita sering dengar bisik-bisik di Polri, 'Ini Kopassus yang buat'. Kalau ada kasus, kita dengar bisik-bisik di Kopasuss, 'Itu polisi yang buat'. Jadi, mereka saling adu domba dan curiga," tuturnya.
Muridan mengimbau, sebaiknya aparat keamanan di Papua berkaca diri dengan aksi-aksi yang terjadi di antara mereka. Semua itu tentu demi damai yang benar-benar nyata di Papua.
Masyarakat dan TNI
Sebelum mengurai solusi keamanan di Papua, Muridan mengatakan, masih ada masalah lain yang sebetulnya terjadi di sana. Masalah itu adalah trauma masyarakat Papua terhadap kedatangan satuan aparat TNI di tanah kelahiran mereka itu.
Warga Papua, kata Muridan, tak pernah benar-benar dekat dengan TNI sejak satuan ini melakukan operasi militer pada 1960-an.
"Sikap sewenang-wenang, tindak kekerasan, dan arogansi TNI membuat masyarakat Papua antipati sejak dulu. Citra TNI sudah buruk di mata warga Papua," kata Muridan.
Maka dari itu, Muridan mengaku tidak heran lagi ketika meletus peristiwa pengeroyokan terhadap Pratu Ahmad Ruslan, Rabu (6/6/2012) lalu. Anggota TNI Angkatan Darat Yonif 756 Wamena itu dikeroyok massa setelah sebelumnya tak sengaja menabrak seorang anak kecil, Devi Wanimbo.
Kecelakaan itu memang berujung maut. Saat itu, Devi mengalami luka lecet, sementara Pratu Ahmad ikut terjatuh dari motornya. Sejumlah warga yang menjadi saksi mata tersulut emosi. Massa pun mengeroyok Ahmad.
Nasib anggota TNI itu sungguh tragis. Nyawa Ahmad melayang ketika tusukan pisau massa menghujam dadanya. Rekannya, Pratu Ahmad Saifudin, yang saat itu berniat melerai, ikut terkena amukan massa setempat.
Muridan menyesalkan tindakan main hakim sendiri warga setempat terhadap Pratu Ahmad. Ia menduga, pengeroyokan terjadi karena pelaku kecelakaan itu adalah seorang TNI sehingga warga mudah tersulut. Ada sentimen tersendiri dari warga Papua terhadap TNI. Hal itu lantaran rasa trauma tadi. Trauma masa lalu yang belum hilang hingga kini.
"Masyarakat sudah trauma dari dulu dengan TNI. Dulu, sekitar tahun 1998, sebenarnya sudah agak menurun. Tapi, saat ini terjadi lagi. Operasi militer juga tidak selesai-selesai, masyarakat juga semakin trauma dan benci," ujarnya.
Ketegasan
Setiap tahun selalu ada cerita kekerasan di Papua. Setiap tahun, Papua selalu bergejolak. Muridan mengatakan, kisah berulang ini adalah kesalahan aparat.
"Kekacauan di Papua terjadi karena lembaga-lembaga negara gagal di sana. Mereka tidak berpihak untuk keamanan negara. Mereka hadir dengan kepentingan masing-masing," kata Muridan.
Oleh karena itu, ia dengan tegas menyarankan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono membenahi sistem keamanan di Papua. Tindakan akan lebih baik dibanding Presiden hanya sekadar mengimbau.
"Copot Kapolda, ganti Menkopolhukam yang tidak tegas. Kita butuh yang tegas," ujar Muridan.
Selain itu, Muridan mengatakan, pemerintah harus menarik mundur satuan-satuan militer di Papua saat ini. Cukup kepolisian yang menyelesaikan masalah di Papua. Menurut dia, tak perlu menempatkan intelijen dan TNI dalam jumlah besar di wilayah tersebut.
"Selama ini banyak satuan, tapi selalu alasannya keadaan geografis sehingga tidak bisa menangkap pelaku penembakan. Omong kosong itu. Intel, TNI, dan polisi tidak kerja sama dengan baik. Negara ini disandera dengan kepentingan militer karena sibuk bersaing. Jadi, sebaiknya cukup polisi saja di Papua," ungkapnya.
Aparat keamanan pun harus tegas terhadap warga Papua. Menurut Muridan, jika memang ada warga Papua bersalah melakukan kejahatan, polisi tak perlu segan-segan melakukan proses penegakan hukum. Aparat harus menunjukkan kepada warga Papua bahwa hukum berjalan dengan adil di sana.
"Tangkap yang berbuat salah. Tangkap dengan cara dan prosedur yang benar, tidak perlu takut dikatakan melanggar HAM. Kalau menangkap dengan cara salah, ya, wajar dikatakan demikian. Kalau oknum Polri dan TNI yang salah, ya, juga harus ditindak. Jangan diam-diam saja. Hukum harus berjalan apa adanya di sana, jangan didasarkan pada kepentingan," tandasnya.
Tutup mata
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menganggap peristiwa penembakan dan kekerasan di Papua terjadi karena pemerintah daerah dan pemerintah pusat tutup mata pada penyebabnya. Pemerintah, kata dia, lebih gemar menurunkan satuan militer untuk menyelesaikan masalah di Papua.
"Akar masalahnya adalah karena sejak peristiwa kekerasan tidak pernah ditangkap dalangnya, pelakunya. Selalu bilang OTK dan OPM. Tapi mana, yang mereka tuduhkan itu sudah ditangkap belum? Itu yang harus ditanyakan pemerintah," kata Ifdhal pada Kompas.com.
Senada dengan Muridan, Ifdhal mengatakan bahwa pemerintah perlu membenahi sistem keamanan di Papua. Tak perlu menurunkan satuan militer lain, sistem keamanan di Papua cukup dijalankan dengan aparat keamanan di daerah.
Ia menuturkan, semakin banyak satuan dari Jakarta justru akan menimbulkan persaingan tidak sehat. Hal ini mengakibatkan mereka tidak fokus menyelesaikan masalah Papua.
"Jumlah masyarakat Papua itu tidak sebanyak Jawa Barat, dan sebarannya tidak merata. Seharusnya bisa ditangkap pelaku-pelakunya," kata Ifdhal.
Ia juga mengatakan, aparat keamanan seharusnya tidak menggunakan alasan geografis sehingga sulit mencari pelaku. Ia percaya, TNI-Polri memiliki kemampuan dan peralatan canggih untuk mencari pelaku-pelaku penembakan yang terbilang mahir tersebut.
Saat ini, sudah delapan kasus penembakan terjadi sejak dua bulan terakhir di Papua. Menurutnya, aparat jangan lagi menunggu, tapi bertindak tegas sesuai prosedur.
"Cari dalangnya, jangan hanya pelaku lapangan. Pasti ada yang menjadi otak semua ini. Beri kesempatan polda setempat bekerja, jangan dicampur dengan satuan-satuan lain yang tidak terkoordinasi. Jangan buat masyarakat Papua bingung dengan semua ini," ungkapnya.
Ifdhal mengatakan, saat ini Komnas HAM tengah memantau kinerja aparat keamanan dalam menyelesaikan masalah di Papua. Pihaknya juga akan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan TNI-Polri jika kasus-kasus di Papua tak kunjung usai.
Kami ingin damai!
"Omong kosong kalau aparat menyatakan pelaku penembakan adalah OPM atau OTK. Mana, tunjukkan pelakunya kalau benar begitu. Jangan hanya bicara, tangkap kalau betul ada," kata Edo Kondologit.
Kemarahan Edo ini bukan tanpa sebab. Ia mengatakan, pemerintah harus tegas jika ingin mendamaikan Papua. Masyarakat Papua, kata dia, ingin hidup damai. Tak ada senjata dan pakaian seragam berseliweran di mana-mana.
Edo mengaku heran dengan kondisi tersebut. Untuk itu, ia meminta aparat dan pemerintah tidak terus-menerus menjadikan, baik OPM maupun warga Papua lainnya, sebagai kambing hitam jika belum bisa membuktikan pelaku kekerasan dan penembakan sesungguhnya.
"Ini seperti negara bedebah. Aparatnya mandul, dan pemerintahnya hanya bisa omong-omong saja. Presiden hanya bisa bicara saja. Tarik pasukan keamanan di tempat kami. Ini hanya membuat kami semakin merasa terintimidasi. Mereka hanya bersaing dan membuat semua kekacauan ini. Kami ingin hidup damai," tandasnya.
0 comments